![]() |
source |
Pengertian DNVB
Oke, pertama-tama, apa sih DNVB itu?
Kepanjangan dari singkatan ini adalah Digitally Native Vertical Brand. Biar nggak pusing, gampangnya istilah ini dipecah jadi dua: Digitally Native dan Vertical Brand¹. Digitally Native artinya bermula dari medium digital, alias mulai secara online. Vertical Brand artinya brand yang mengontrol bisnisnya dari tahap produksi, hingga sampai ke tangan konsumen.
Bicara lebih detail soal Vertical Brand, yang membuatnya berbeda dengan model bisnis lainnya adalah Vertical Brand benar-benar ngejalanin semuanya. Kan ada, ya, beberapa bisnis yang hanya ambil barang, baru didistribusikan dan dijual. Ada juga yang produksi sendiri, tapi yang ngejual orang lain. Nah, kalau Vertical Brand ini, ya, mereka lakoni semua. Begitu, lho.
Jadi kesimpulannya, DNVB adalah bisnis yang bermula secara online, dimana proses bisnisnya dijalani sendiri semua dari produksi sampai bisa diterima konsumen.
Apa hubungannya DNVB dan bisnis kecantikan Indonesia?
![]() |
source |
Untuk lebih ngeh kaitan antara istilah ini dan bisnis kecantikan Indonesia, kita bahas per poin-poin DNVB, ya.
1. Inti DNVB adalah bisnis 'sendiri' yang berbasis online².
The easiest examples would be Rollover Reaction atau BLP Beauty. Meski bisnis sendiri, bukan nggak mungkin kalau ada DNVB yang menggunakan e-commerce atau media sosial untuk berjualan, karena platform jualan ini tuh istilahnya hanya sebagai pengantar saja.
Nggak cuma Rollover Reaction dan BLP Beauty, if you're like me who loves to browse beauty brands on Instagram, pasti kalian sedikit-sedikit memperhatikan deh kalau sekarang banyaaaak banget brand kosmetik lokal yang bermunculan di Instagram. Ya ESQA lah, Dear Me Beauty, Luxcrime, The Bath Box, For Skin's Sake, dan masih banyak lagi.
By the way, kalau untuk Wardah, Make Over, dan Emina alias geng Paragon, I'm not sure where they started, jadi nggak di-include, ya.
2. Ada 2 hal yang menurut gue pribadi jadi kunci DNVB, yang pertama itu branding, yang kedua media sosial. Untuk poin branding juga disetujui jadi kunci DNVB menurut artikel ini. Nah, bahasan branding ini bisa panjang banget, sih (SOK. HAHA. Padahal cuma 1-3 kalimat).
Berikut sedikit kutipan dari Entrepreneur.com:
The digital vertically integrated brand is internet enabled, born digitally and interacts with customers primarily online. It seeks to build a strong brand lifestyle that speaks to people and shapes their choices. To build such a community, v-commerce brands present and design their products in a highly compelling way and in a consistent voice.
DNVBs’ products meticulously represent the brand identity and both their products and their packaging are designed to be shared on social media. These brands rely heavily on visual content displayed across a multitude of marketing channels. To scale content creation and to meet content needs, DNVBs often rely on user-generated content.
Sering denger istilah instagramable atau instagram-worthy? Nah, ini dia kata kunci yang dipraktikkan sama para DNVB. Alih-alih pake marketing konvesional yang jualan banget, DNVB lebih berfokus bikin konten yang 'berkarakter' dan, ya, itu tadi: instagramable. Istilah lainnya mungkin aesthetically pleasing kali, ya.
Oh, iya, persoalan estetis ini juga nggak cuma berlaku untuk feed Instagram atau tampilan website aja, tapi juga ke packaging dan tampilan produk-produknya. Termasuk ke box atau bubble wrap yang kita terima pas produknya dikirim. Meticulous, rite? Then again, balik lagi ke kutipan di atas, ini semua emang diniatin banget karena tujuannya biar si produk di-share ke media sosial. Kalau dibikin sampe ke box-box-nya aja lucu, pastinya konsumen juga makin ingin share. That's why banyak konten unboxing.
3. "DNVBs often rely on user-generated content"
Apa sih maksudnya user-generated content? Artinya adalah konten yang dibuat oleh konsumen itu sendiri. Contohnya apa? Instagram story, post di feed, dan sejenisnya yang biasanya disebut 'Testimonial' atau 'Review'.
Jadi, di samping bikin-bikin konten yang aesthetic tadi, DNVB juga seringnya nih ngandelin kita-kita. Gimana tuh caranya? Gampang: repost, retweet, atau add to your story. Versi lebih niatnya, ya, via endorsement. By the way, ini bukan karena mereka males atau low budget, lho, tapi memang user-generated content membangun rasa percaya, meningkatkan potensi orang untuk berbelanja, memperkuat branding, dan sekaligus nambah stok konten mereka yang lebih 'real'³.
Jujur aja, ketimbang online shop yang isinya cuma foto-foto katalog rapi nan bersih, terkadang yang ada repost-repost-nya dari konsumen keliatan lebih terjamin, kan? Dibanding nonton instagram story suatu brand, gue pribadi pun ngerasa jauh lebih teracuni kalau ngeliat story seseorang yang gue kenal review atau nyebut brand tersebut.
4. DNVB sangat aktif di media sosial.
Ngomongin data sedikit, ya. Dilansir dari sini, Bain Consulting³ menemukan kalau ternyata 67% konsumen mengaku menggunakan media sosial brand sebagai customer service dan 72% di antaranya berharap brand akan merespon dalam hitungan jam.
Hayo, ada yang merasa pernah komplain ke brand via Instagram, nggak? Gue sih pernah HAHA. Padahal jelas-jelas ada customer service khusus, ya. Contohnya bisa dilihat di mana? Coba cek kolom komentar brand-brand, deh... biasanya pasti ada aja 1-2 komentar nyelip, "Kak, kok paket aku belum dateng, ya? Paket aku manaaa?!?"
Sayangnya, 5 dari 6 interaksi tidak terjawab oleh brand. Padahal, kalau brand tersebut aktif merespon dan berinteraksi sama konsumennya, ditemukan bahwa konsumen tersebut akan berbelanja 20 - 40% lebih banyak, lho! Teruntuk kalian-kalian para pemilik brand, yuk mulai dibales DM-nya yang udah 99+ itu.
Balik lagi ke gue pribadi, I don't know if you feel the same, tapi memang direspon sama brand bikin kita ngerasa dihargai. Sesimpel dikasih emoji love kalau kita nge-tag di Instagram story. Apalagi kalau responnya kerasa personal alias nggak template plek-plekan.
Masih dari Entrepreneur.com, disebutkan juga kalau DNVB cenderung membuat digital experiences alias pengalaman digital, di mana konsumen bisa berinteraksi dan ikut nge-share juga. Ponnya adalah membuat konten yang shareable alias bikin kita mau nge-share. Contohnya ini limitless, sih, bisa sesimpel bagi-bagi wallpaper gratis kayak Glossier, buka Q&A, nge-post quotes, bikin polling, dan masih banyaaaaak lagi. Targetnya siapa? Oh tentu millenials dan gen Z.
![]() |
source |
5. WOW AKHIRNYA SAMPAI DI POIN TERAKHIR. Oke, poin terakhir adalah DNVB tidak melulu harus tetap digital, pada akhirnya banyak juga DNVB yang merambah ke offline, kok! Mungkin awalnya cuma ikut-ikut bazaar atau buat pop-up store, atau nebeng showcase ke toko lain, tapi nggak menutup kemungkinan kalau pada akhirnya jadi brick and mortar store juga. See Glossier, BLP Beauty, Rollover Reaction, and Sociolla for example. Oh, iya, brand-brand yang ada di Beauty Bar The Goods Dept. pun bisa dihitung mulai merambah ke offline.
Oke... jadi kesimpulannya apa?
![]() |
source |
Ya nggak ada, sih... HAHA. Ini lebih ke fyi aja. Supaya lebih paham oh brand-brand kecantikan lokal begini toh. Mungkin kalau kalian punya rencana untuk bikin bisnis sendiri, bisa baca-baca lebih jauh juga soal DNVB, ya.
Oh, iya, nambahin sedikit, DNVB punya banyak keuntungan dibanding model bisnis lainnya, lho. Salah dua alesannya adalah karena DNVB bisa memangkas pengeluaran dengan mengontrol proses produksi, distribusi, sampai ke marketing, dan DNVB juga 'kaya' akan data konsumennya, wong mereka sendiri yang ngelayanin jadi pasti tahu banget market mereka seperti apa.
Yowis, itu dulu aja he he.
See ya on the next post!
xx
Post a Comment